Aku Maya, seorang gadis muda dengan
obsesi tanpa batas, dan cinta yang juga tanpa batas. Aku mencintai seperti
seorang idiot. Tak mengenal benar dan salahnya mencintai DIA. Tak mengenal
peringatan dari seorang Ibu. Aku pernah mendengar. Ralat. Selalu mendengar
tentang kedasyatan indra perasa seorang Ibu. Ibu bisa merasakan apakah ada yang
tak beres dengan anaknya atau tidak. Ibu bisa merasakan apakah anaknya dalam
bahaya atau tidak. Bahkan Ibu juga bisa merasakan apakah pasangan anaknya
brengsek atau tidak. Aku juga sama. Aku memiliki Ibu yang seperti itu.
Sayangnya, aku tak mendengarkannya. Aku tak peduli tentang pendapatnya. Aku
hanya peduli pada cintaku. Aku hanya memikirkan bagaimana aku harus
membahagiakannya, sekalipun aku harus menyakiti Ibuku. Aku hanya mementingkan
perasaan DIA.
“Mama gak perlu berpendapat. Aku yang
pacaran dengannya. Aku yang akan menikah dengannya. Mama selalu berpikiran
sempit. Gak semua anak akan mengikuti jejak orangtuanya, Ma. Termasuk DIA. Dia
tak akan seperti ayahnya.” Aku bicara dengan intonasi tak seharusnya pada Mama.
Mama tidak segera menjawab, hanya diam sejenak. Kemudian menghela nafas
panjang, terlalu panjang menurutku. Mamaku memang selalu seperti itu. Selalu
berlebihan dalam menyikapi segala hal. Terlalu berpikiran sempit.
“Yang pasti, mama sudah berikan jawaban
mama untuk permintaan ijin-mu kelak akan menikah. Jangan tanya mama lagi saat
itu. Jawaban mama gak akan berubah. Mama pulang dulu.” Mamaku meraih tas tangan
dan koper kecilnya kemudian beranjak keluar. Emosiku hampir sampai di puncak.
Mama baru sampai tadi malam dari Jakarta, lalu ingin pulang lagi hanya karena
mengetahui aku masih pacaran dengan DIA.
“Ma, jangan kekanak-kanakan. Mama baru
sampai tadi malam. Setidaknya mama istirahat sampai siang baru pulang.”
“Mama gak dibutuhkan disini. Anak mama
sendiri gak mendengarkan mama, jadi untuk apa mama disini. Seharusnya mama
berkunjung ke rumah abangmu. Lebih menggembirakan bersama cucu daripada anak
sendiri.” Ucapan mama sukses membuat darahku mendidih. Selalu seperti itu.
Selalu akan memojokkan aku.
“Yaudah mama pulang sana! Nikmati hari
mama dengan cucu mama itu. Mama selalu lebih menyayangi abang dan keluarganya
dibanding aku!” aku masuk ke kamarku tanpa peduli lagi apa mama akan
benar-benar pulang atau tidak. Aku lebih suka papa yang berkunjung daripada
mama. Mama selalu akan mengomentari semua hal tentang aku. Dulu, saat abang
masih bersamaku kuliah disini, mama tak pernah berkomentar sedikitpun
tentangnya. Sekalipun nilainya selalu dibawah standar yang ditetapkan papa.
Sekalipun dia selalu saja membuat masalah di kampus, bahkan sekalipun akhirnya
dia menikah karena pacarnya hamil di luar pernikahan yang sah. Mama membuat week-end ini berantakan. Aku meraih
ponsel-ku. Mencari nama DIA. Aku ingin mendengar suaranya. Aku rindu. Aku akan
lebih tenang ketika DIA bicara padaku. Mendengungkan sejuta kata cinta dan
sayang. Sebentar terdengar nada sambung. Aku menunggu. Lalu, suara seorang
wanita seperti biasa. Aku menghela nafas. Memandangi ponselku dengan kesal luar
biasa yang semakin luar biasa saja. Mama dan DIA, hari ini adalah sumber panas
yang mendidihkan darahku. Lupakan kata cinta dan sayang, lupakan keinginan
untuk lebih tenang. Aku merebahkan diri di kasur. Menerawang jauh melewati
langit-langit kamar. Tertidur.
Aku
melewati hari minggu-ku begitu saja. Aku sudah berada di hari senin lagi. Itu
artinya aku harus kembali bekerja. Kantor tak akan peduli apakah aku sedang bermasalah
dengan mama atau tidak. Juga tak akan peduli apakah aku marah atau pasrah
dengan tingkah DIA, yang kupuja dan kucintai sepenuh hati. Ditambah lagi aku
adalah karyawan baru. Baru saja lulus. Baru saja diterima bekerja di kantor
ini. Ingin rasanya bolos bekerja, dan pergi mengadu ke pelukan DIA. Rindu ini
sudah diambang batas. Tapi ini bukan perkuliahan yang bisa seenaknya aku pergi
membolos. Seperti dulu saat baru saja bersama DIA. Aku merelakan hari kuliah
untuk menghapus rindu sesaat. Kantor masih belum ramai. Ini memang masih
terlalu pagi untuk datang ke kantor. Tapi aku karyawan baru. Ini bentuk
loyalitas yang harus ditunjukkan agar atasanku cukup memperhitungkan aku agar
tidak di depak dari sini. Menunggu jam masuk kantor yang sebenarnya, aku memilih
mendengar suara DIA. DIA pasti sudah bangun. Karena harus bekerja juga seperti
aku. Nada sambungnya terhubung. Aku menunggu (lagi). Dan suara wanita seperti
biasa (lagi). Aku menghela nafas lelah. Mungkin nanti sepulang kerja, aku bisa
langsung menemuinya saja.
Aku menunggu di mobil dengan resah.
Rindu pada DIA sudah terlalu besar. Daripada suara wanita itu yang menyambutku.
Lebih baik aku langsung menemuinya. Aku bosan mendengar suara wanita itu. Dan
aku mulai bosan menunggu di dalam mobil ini. Apa lebih baik aku turun dan masuk
ke dalam kantornya? Tak akan ada apa-apa bukan? Semua orang disana tahu aku dan
DIA adalah pasangan kekasih. Yang akan menikah sebentar lagi – jika DIA segera
melamar aku – dan menjadi istrinya. Aku tersenyum membayangkan hal itu. Aku tak
lagi mencoba menghubunginya, aku tak lagi mencoba menunggunya di dalam mobil
ini. Aku berjalan keluar dari mobil, menuju gedung kantornya di seberang sana.
Aku membayangkan DIA tersenyum lembut padaku dan mengajakku makan. Lalu kami
akan menghabiskan malam dengan banyak cerita hari-hari yang berlalu. Khayalanku
terhenti sejenak, begitu juga dengan langkahku. Aku melihat DIA. DIA sedang
bersama seseorang yang kukenal. Jantungku seperti berhenti berdetak di dalam
sana. Aku melihatnya dipukuli. Aku melihatnya dimaki-maki. DIA tidak memberi
perlawanan. Aku ingin segera berlari kesana, tapi lalu lalang mobil dan
kendaraan lain terlalu ramai. Apa aku menerobos saja? Tak peduli apakah aku
akan tertabrak atau tidak. Mataku masih terpaku pada DIA yang kini bersimpuh di
tanah, seperti patuh mendengar orang yang memukulnya – orang yang kukenal –
yang terlihat berteriak marah. Sejenak kemudian DIA bangkit. Seperti kerasukan
setan, membabi buta melayangkan pukulan kepada orang yang kukenal tadi. Aku
terpaku. Tak pernah kulihat DIA seperti itu. Ditengah kejadian itu, seorang
perempuan datang dengan panik dari arah sebuah mobil. Aku kenal mobil itu.
Jantungku sekali lagi seperti berhenti berdetak. Aku harus segera menyeberang.
Harus sampai disana. Aku nekad menerobos lalu lalang kendaraan yang begitu
ramai itu. Dengan perasaan berkecamuk aku sampai di tengah, di pembatas jalan
dua arah itu. Aku tinggal menyeberang satu lagi jalan raya yang penuh lalu
lalang kendaraan. Aku baru akan melangkah ketika kudengar bunyi benturan keras.
Terlalu keras hingga memekakkan telinga. Aku melihat sebuah tubuh terbanting
dan terjatuh ke tanah. Tubuh itu penuh darah. Aku melihat orang yang kukenal
itu berlari panik menghampiri tubuh itu. Aku juga melihat DIA yang terlihat
kaget tapi justru berlari meninggalkan tubuh itu dan keramaian yang
ditimbulkannya. Jantungku kali ini sepertinya benar-benar berhenti berdetak.
Lalu lintas seketika saja berhenti. Membiarkan aku berjalan gontai ke arah
tubuh itu. Tubuh itu dipeluk seseorang yang kukenal. Mama dipeluk abang, dengan
banyak darah keluar. Matanya tertutup. Abang menangis. Aku terduduk. Kakiku
seperti tak bertulang. Lemas dan tak ada tenaga. Aku terduduk tepat di depan
abang dan mama. Samar-samar aku mendengar orang-orang berteriak agar
dipanggilkan ambulans. Aku juga mendengar abang memanggil-manggil mama. Aku
mendengar orang yang menyebutkan alamat. Aku mendengar namaku disebut abang.
Aku mendengar orang-orang berkata, “Kasihan ya”, “Itu bukannya Maya kekasih
gelapnya Arya.”,” Arya yang dorong kan?”, “Katanya ngelabrak Arya tadi
kesini.”, dan entah perkataan apalagi yang berdengung di telingaku. Aku
mendengar terlalu banyak, tapi mataku, fokusku, tertuju pada tubuh mama yang
tak bergerak, matanya tertutup. Aku mendengar hatiku menangis. Lalu, aku
melihat gelap.
Aku Maya, seorang gadis muda dengan
obsesi yang terhenti di batasnya sendiri, dan cinta tanpa batas yang
menghancurkan seluruh cinta yang kupunya. Aku kehilangan cinta terbesar dalam
hidupku. Aku kehilangan orang paling penting dalam hidupku. Aku tak
mendengarkannya, maka aku kehilangannya. Aku mencintai orang yang salah, aku
memuja orang yang salah. Aku tak memberikan cinta yang benar pada Ibuku, hingga
dia meninggalkan aku dengan sesal dan rasa bersalah. Ibu itu punya indra perasa
yang hebat. Itu benar. Aku tak mendengarkannya. Aku tak percaya ketika ia
berkata, DIA tak bisa jadi suami yang baik kelak. DIA akan seperti ayahnya yang
menikah lagi dan meninggalkan keluarganya. DIA bahkan sudah meninggalkan aku
sebelum aku menjadi bagian dari dirinya. DIA sudah menikah dua bulan lalu, dan
tetap menjadi kekasihku. Membiarkan aku menempati posisi kekasih gelap. Membuat
aku melawan indra perasa Ibuku. Membuat aku melepaskan cinta terhebat Ibuku.
Aku Maya, seorang gadis muda yang bodoh.
Gadis muda yang dibutakan cinta. Gadis muda yang tak tahu rasa terimakasih dan
syukur atas kasih Ibu. Aku Maya, seorang gadis muda yang kehilangan Ibu, karena
mengupayakan kebahagiaanku. Aku Maya, seorang gadis muda yang membiarkan Ibuku
mati demi keegoisanku sendiri. Aku Maya, seorang gadis muda yang menyesal. Aku
Maya, anak gadis mama yang memohon maaf tanpa henti hingga ajal menjemputku,
Ma.