Kamis, 06 Juni 2013

Untuk Hujan

"Kau tak menjanjikanku aku tak ada panas yang menyakitkan, kau juga tak menakuti aku dengan banjir yang besar. Kau hanya cukup meyakinkan aku untuk bertahan dalam lega saat ini."


Aku pernah berjanji pada seseorang, tak akan membiarkannya kehilangan lagi untuk kedua kalinya.
Aku berjanji padanya, ia akan bahagia bersamaku.
Aku memberikannya sayap yang indah, mengajarinya terbang,
agar ia memandang dunia dari atas, membuatnya bahagia.
Aku membuatnya bermimpi, Ia pasti tak akan kehilangan, lagi.

Ia tak berjanji apa-apa padaku, sedikitpun.
Ia membuat aku tersenyum, bersemu merah, dan cemburu.
Aku pernah jera merasakannya, aku pernah berhenti berharap merasakannya.
Ia seperti hujan. Membuatku merasakan kelegaan luar biasa.
Ia memang hujan. Memberikan aku kesejukan di gersang nya hati yang ditinggalkan.

Suatu saat, aku harus memilih.
Pilihan yang akhirnya menyakitinya.
Pilihan yang membuat aku melanggar semua janjiku. Semua tanpa sisa.

Aku membuatnya menangis.
Aku membuatnya memohon padaku.
Aku mematahkan sayap indahnya, bahkan sebelum ia bisa terbang.
Aku membuatnya bangun, bahkan sebelum ia sempat bermimpi "Ia tak akan kehilangan."
Aku menciptakan kehilangan baru untuknya.
Kehilangan yang lebih pahit, ketika ia mampu melihatku, mampu menyentuhku,
tapi tak pernah bisa dilakukannya, karena aku milik orang lain.
Ia kehilangan aku, untuk ia relakan pada orang lain.

Aku memilih menyakitinya,
ketika aku mencintainya.


untuk hujan,
maafkan aku ketika aku membuatku kehilangan cinta lagi.
aku merindukanmu.

Jumat, 31 Mei 2013

Aku Maya


Aku Maya, seorang gadis muda dengan obsesi tanpa batas, dan cinta yang juga tanpa batas. Aku mencintai seperti seorang idiot. Tak mengenal benar dan salahnya mencintai DIA. Tak mengenal peringatan dari seorang Ibu. Aku pernah mendengar. Ralat. Selalu mendengar tentang kedasyatan indra perasa seorang Ibu. Ibu bisa merasakan apakah ada yang tak beres dengan anaknya atau tidak. Ibu bisa merasakan apakah anaknya dalam bahaya atau tidak. Bahkan Ibu juga bisa merasakan apakah pasangan anaknya brengsek atau tidak. Aku juga sama. Aku memiliki Ibu yang seperti itu. Sayangnya, aku tak mendengarkannya. Aku tak peduli tentang pendapatnya. Aku hanya peduli pada cintaku. Aku hanya memikirkan bagaimana aku harus membahagiakannya, sekalipun aku harus menyakiti Ibuku. Aku hanya mementingkan perasaan DIA.


“Mama gak perlu berpendapat. Aku yang pacaran dengannya. Aku yang akan menikah dengannya. Mama selalu berpikiran sempit. Gak semua anak akan mengikuti jejak orangtuanya, Ma. Termasuk DIA. Dia tak akan seperti ayahnya.” Aku bicara dengan intonasi tak seharusnya pada Mama. Mama tidak segera menjawab, hanya diam sejenak. Kemudian menghela nafas panjang, terlalu panjang menurutku. Mamaku memang selalu seperti itu. Selalu berlebihan dalam menyikapi segala hal. Terlalu berpikiran sempit.
“Yang pasti, mama sudah berikan jawaban mama untuk permintaan ijin-mu kelak akan menikah. Jangan tanya mama lagi saat itu. Jawaban mama gak akan berubah. Mama pulang dulu.” Mamaku meraih tas tangan dan koper kecilnya kemudian beranjak keluar. Emosiku hampir sampai di puncak. Mama baru sampai tadi malam dari Jakarta, lalu ingin pulang lagi hanya karena mengetahui aku masih pacaran dengan DIA.
“Ma, jangan kekanak-kanakan. Mama baru sampai tadi malam. Setidaknya mama istirahat sampai siang baru pulang.”
“Mama gak dibutuhkan disini. Anak mama sendiri gak mendengarkan mama, jadi untuk apa mama disini. Seharusnya mama berkunjung ke rumah abangmu. Lebih menggembirakan bersama cucu daripada anak sendiri.” Ucapan mama sukses membuat darahku mendidih. Selalu seperti itu. Selalu akan memojokkan aku.
“Yaudah mama pulang sana! Nikmati hari mama dengan cucu mama itu. Mama selalu lebih menyayangi abang dan keluarganya dibanding aku!” aku masuk ke kamarku tanpa peduli lagi apa mama akan benar-benar pulang atau tidak. Aku lebih suka papa yang berkunjung daripada mama. Mama selalu akan mengomentari semua hal tentang aku. Dulu, saat abang masih bersamaku kuliah disini, mama tak pernah berkomentar sedikitpun tentangnya. Sekalipun nilainya selalu dibawah standar yang ditetapkan papa. Sekalipun dia selalu saja membuat masalah di kampus, bahkan sekalipun akhirnya dia menikah karena pacarnya hamil di luar pernikahan yang sah. Mama membuat week-end ini berantakan. Aku meraih ponsel-ku. Mencari nama DIA. Aku ingin mendengar suaranya. Aku rindu. Aku akan lebih tenang ketika DIA bicara padaku. Mendengungkan sejuta kata cinta dan sayang. Sebentar terdengar nada sambung. Aku menunggu. Lalu, suara seorang wanita seperti biasa. Aku menghela nafas. Memandangi ponselku dengan kesal luar biasa yang semakin luar biasa saja. Mama dan DIA, hari ini adalah sumber panas yang mendidihkan darahku. Lupakan kata cinta dan sayang, lupakan keinginan untuk lebih tenang. Aku merebahkan diri di kasur. Menerawang jauh melewati langit-langit kamar. Tertidur.


 Aku melewati hari minggu-ku begitu saja. Aku sudah berada di hari senin lagi. Itu artinya aku harus kembali bekerja. Kantor tak akan peduli apakah aku sedang bermasalah dengan mama atau tidak. Juga tak akan peduli apakah aku marah atau pasrah dengan tingkah DIA, yang kupuja dan kucintai sepenuh hati. Ditambah lagi aku adalah karyawan baru. Baru saja lulus. Baru saja diterima bekerja di kantor ini. Ingin rasanya bolos bekerja, dan pergi mengadu ke pelukan DIA. Rindu ini sudah diambang batas. Tapi ini bukan perkuliahan yang bisa seenaknya aku pergi membolos. Seperti dulu saat baru saja bersama DIA. Aku merelakan hari kuliah untuk menghapus rindu sesaat. Kantor masih belum ramai. Ini memang masih terlalu pagi untuk datang ke kantor. Tapi aku karyawan baru. Ini bentuk loyalitas yang harus ditunjukkan agar atasanku cukup memperhitungkan aku agar tidak di depak dari sini. Menunggu jam masuk kantor yang sebenarnya, aku memilih mendengar suara DIA. DIA pasti sudah bangun. Karena harus bekerja juga seperti aku. Nada sambungnya terhubung. Aku menunggu (lagi). Dan suara wanita seperti biasa (lagi). Aku menghela nafas lelah. Mungkin nanti sepulang kerja, aku bisa langsung menemuinya saja.


Aku menunggu di mobil dengan resah. Rindu pada DIA sudah terlalu besar. Daripada suara wanita itu yang menyambutku. Lebih baik aku langsung menemuinya. Aku bosan mendengar suara wanita itu. Dan aku mulai bosan menunggu di dalam mobil ini. Apa lebih baik aku turun dan masuk ke dalam kantornya? Tak akan ada apa-apa bukan? Semua orang disana tahu aku dan DIA adalah pasangan kekasih. Yang akan menikah sebentar lagi – jika DIA segera melamar aku – dan menjadi istrinya. Aku tersenyum membayangkan hal itu. Aku tak lagi mencoba menghubunginya, aku tak lagi mencoba menunggunya di dalam mobil ini. Aku berjalan keluar dari mobil, menuju gedung kantornya di seberang sana. Aku membayangkan DIA tersenyum lembut padaku dan mengajakku makan. Lalu kami akan menghabiskan malam dengan banyak cerita hari-hari yang berlalu. Khayalanku terhenti sejenak, begitu juga dengan langkahku. Aku melihat DIA. DIA sedang bersama seseorang yang kukenal. Jantungku seperti berhenti berdetak di dalam sana. Aku melihatnya dipukuli. Aku melihatnya dimaki-maki. DIA tidak memberi perlawanan. Aku ingin segera berlari kesana, tapi lalu lalang mobil dan kendaraan lain terlalu ramai. Apa aku menerobos saja? Tak peduli apakah aku akan tertabrak atau tidak. Mataku masih terpaku pada DIA yang kini bersimpuh di tanah, seperti patuh mendengar orang yang memukulnya – orang yang kukenal – yang terlihat berteriak marah. Sejenak kemudian DIA bangkit. Seperti kerasukan setan, membabi buta melayangkan pukulan kepada orang yang kukenal tadi. Aku terpaku. Tak pernah kulihat DIA seperti itu. Ditengah kejadian itu, seorang perempuan datang dengan panik dari arah sebuah mobil. Aku kenal mobil itu. Jantungku sekali lagi seperti berhenti berdetak. Aku harus segera menyeberang. Harus sampai disana. Aku nekad menerobos lalu lalang kendaraan yang begitu ramai itu. Dengan perasaan berkecamuk aku sampai di tengah, di pembatas jalan dua arah itu. Aku tinggal menyeberang satu lagi jalan raya yang penuh lalu lalang kendaraan. Aku baru akan melangkah ketika kudengar bunyi benturan keras. Terlalu keras hingga memekakkan telinga. Aku melihat sebuah tubuh terbanting dan terjatuh ke tanah. Tubuh itu penuh darah. Aku melihat orang yang kukenal itu berlari panik menghampiri tubuh itu. Aku juga melihat DIA yang terlihat kaget tapi justru berlari meninggalkan tubuh itu dan keramaian yang ditimbulkannya. Jantungku kali ini sepertinya benar-benar berhenti berdetak. Lalu lintas seketika saja berhenti. Membiarkan aku berjalan gontai ke arah tubuh itu. Tubuh itu dipeluk seseorang yang kukenal. Mama dipeluk abang, dengan banyak darah keluar. Matanya tertutup. Abang menangis. Aku terduduk. Kakiku seperti tak bertulang. Lemas dan tak ada tenaga. Aku terduduk tepat di depan abang dan mama. Samar-samar aku mendengar orang-orang berteriak agar dipanggilkan ambulans. Aku juga mendengar abang memanggil-manggil mama. Aku mendengar orang yang menyebutkan alamat. Aku mendengar namaku disebut abang. Aku mendengar orang-orang berkata, “Kasihan ya”, “Itu bukannya Maya kekasih gelapnya Arya.”,” Arya yang dorong kan?”, “Katanya ngelabrak Arya tadi kesini.”, dan entah perkataan apalagi yang berdengung di telingaku. Aku mendengar terlalu banyak, tapi mataku, fokusku, tertuju pada tubuh mama yang tak bergerak, matanya tertutup. Aku mendengar hatiku menangis. Lalu, aku melihat gelap.


Aku Maya, seorang gadis muda dengan obsesi yang terhenti di batasnya sendiri, dan cinta tanpa batas yang menghancurkan seluruh cinta yang kupunya. Aku kehilangan cinta terbesar dalam hidupku. Aku kehilangan orang paling penting dalam hidupku. Aku tak mendengarkannya, maka aku kehilangannya. Aku mencintai orang yang salah, aku memuja orang yang salah. Aku tak memberikan cinta yang benar pada Ibuku, hingga dia meninggalkan aku dengan sesal dan rasa bersalah. Ibu itu punya indra perasa yang hebat. Itu benar. Aku tak mendengarkannya. Aku tak percaya ketika ia berkata, DIA tak bisa jadi suami yang baik kelak. DIA akan seperti ayahnya yang menikah lagi dan meninggalkan keluarganya. DIA bahkan sudah meninggalkan aku sebelum aku menjadi bagian dari dirinya. DIA sudah menikah dua bulan lalu, dan tetap menjadi kekasihku. Membiarkan aku menempati posisi kekasih gelap. Membuat aku melawan indra perasa Ibuku. Membuat aku melepaskan cinta terhebat Ibuku.
Aku Maya, seorang gadis muda yang bodoh. Gadis muda yang dibutakan cinta. Gadis muda yang tak tahu rasa terimakasih dan syukur atas kasih Ibu. Aku Maya, seorang gadis muda yang kehilangan Ibu, karena mengupayakan kebahagiaanku. Aku Maya, seorang gadis muda yang membiarkan Ibuku mati demi keegoisanku sendiri. Aku Maya, seorang gadis muda yang menyesal. Aku Maya, anak gadis mama yang memohon maaf tanpa henti hingga ajal menjemputku, Ma.

Time Machine

Kamu mungkin bisa kembali ke masa lalu,
tapi kamu tak akan pernah mungkin bisa mengubah masa depan.


Namanya Caleb, seorang anak kecil yang dengan mudahnya mendapatkan segalanya, bahkan tanpa meminta pun ia telah memiliki segala yang anak-anal lain mau. Anak itu sedang memandangi seorang gadis kecil di balik mobil mewahnya. Gadis kecil yang sedang memeluk boneka beruang rusak dan kotor, yang berdiri di sebelah ibunya yang kumal dan sedang meminta sedikit receh dari mobil-mobil yang sedang lewat. Anak lelaki itu menurunkan kaca mobilnya, memberikan sebuah miniatur mobil mewah berwarna biru pada anak gadis pengemis itu. Tidak, Bukan memberikan, tetapi melemparkan  miniatur mobil itu. Miniatur mobil itu jatuh tepat di bawah kaki gadis kecil pengemis itu. Ia tertarik. Tak pernah ia menyentuh mainan sebagus itu. Dipungutnya, dan ia menengadah ke arah miniatur itu berasalah. Ia hanya melihat sebuah mobil sedan mewah yang melaku melewatinya, melewati lampu lalu lintas yang sudah menyala hijau. Gadis kecil itu kembali memandangi miniatur mobil itu dan melihat sebuah tulisan disana. Tapi ia belum bisa membaca. Gadis kecil hanya tersenyum, menyimpan mobil itu di balik saku baju nya yang kotor dan tersenyum, berpikir bahwa itu adalah mobil yang Tuhan turunkan dari langit.

Di dalam mobil, Caleb si anak lelaki kaya, masih memandangi gadis itu hingga menjadi titik di kejauhan. Ia bertanya di dalam hati, mengapa gadis itu tidak berterimakasih padanya? Semua temannya berterimakasih padanya ketika ia memberikan mainan-mainan yang ia telah bosan kepada teman-temannya. Tapi mengapa gadis itu tidak? Lalu ia sadar, mobil itu mobil kesayangannya lalu ia merengek pada ibunya, "Ma, aku melempar mobilku ke anak kecil tadi.", sang Ibu menoleh ke belakang, tersenyum dan berkata, "Nanti mama belikan yang baru ya." Caleb tak menggubris, kemudian ia menangis sejadi-jadinya. Sang ibu meminta supir berbalik arah. Ketika sampai di tempat tadi, Caleb mencari-cari gadis kotor dekil itu. Ia melihat gadis itu di seberang jalan. "Ma, itu dia!" Caleb menunjuk gadis kecil yang sedang berjalan menjauh itu sambil menangis. "Mama akan ambil mobil kamu, okey? Kamu jangan nangis ya. Mama akan kembali dengan mobil kamu." Sang ibu mencium anaknya dan berlari tanpa pikir panjang. Sebuah suara benturan keras terdengar. Caleb berhenti menangis, dia tidak lagi menangis.


(15 tahun kemudian...)
"Caleb!! Bisa tidak kamu tidak menyusahkan papa sekali saja?!", seorang lelaki tua berkacak pinggang di depan seorang pria muda - yang dipanggil Caleb - dan terlihat sangat marah.
"Pa, aku sama sekali gak tertarik sama bisnis, manajemen, atau apalah yang aku pelajari disana. Wajar aku kabur. Papa tinggal telepon dan bilang aku berhenti. Mudah kan pa?" Caleb menjawab dengan sangat santai, Ia tak melihat wajah sang ayah yang sudah memerah karena marah.
"Kamu ini!!! Ahh ya sudahlah. Papa kehabisan cara untuk mendidikmu. Keluar dari ruangan papa!" Ayahnya merebahkan diri di kursi kerjanya, memijat-mijat kepala kemudian meraih gagang telepon, "Bila, tolong bawakan obat saya." Ia menoleh lagi pada Caleb lalu dengan tidak sabar menyuruh Caleb keluar, "Pulanglah, Cal! Papa bisa masuk rumah sakit karena melihatmu lebih lama!!"
Caleb tak menjawab. Dengan santai ia menuju pintu dan berpapasan dengan seorang gadis.
"Bagus! Segera tutup pintu itu, Bila!", ucap ayah Caleb pada gadis itu. Caleb memandangi gadis itu hingga gadis itu berdiri tepat di sebelah pintu dan bersiap-siap menutup pintu. Caleb tak bergerak. Gadis itu menunggu. "Maaf, apakah anda berencana pindah dari tempat anda? Saya akan menutup pintu?" ucapnya dengan senyum semanis madu, dan intonasi sepahit obat. Caleb tanpa sadar mundur dari tempatnya, dan seketika itu juga gadis itu menutup pintu.
"Cantik. Tapi sangat judes." Ucapnya pada diri sendiri. Caleb sudah akan berencana segera keluar dari ruangan itu ketika ia melihat sesuatu di atas meja di sisi kirinya. Ia sepertinya mengenal benda yang ada di atas meja itu. Caleb mendekati meja dan meraih benda itu. Sebuah miniatur mobil berwarna biru. Untuk memastikan ingatannya, Caleb membalikkan sisi mobil, dan disanalah sebuah tulisan terpampang. Tulisan namanya. Ia tak akan lupa pada mobil kesayangannya itu. Ia juga tak pernah lupa hari dimana ia melemparkan mobil itu dan membuat hidupnya seketika berubah.

bersambung.....


Aku dan Tulisan

Cukup lama untuk kembali membuat jari-jari menari di atas keyboard,
tentunya untuk sekedar nge-post satu saja halaman tentang tulisan di blog ini,
dan untuk membuat blog ini sesuai dengan kegunaan awalnya. Hehe.

Mencari-cari kegiatan lain selain menulis sebagai kegiatan yang cocok buatku ternayata cukup sulit.
Atau bukan sulit, tetapi memang hanya MENULIS lah yang sudah dari awal jadi bagian hidupku.
Ya, hanya menulis. Yang lain mungkin hanya pelengkap.

So, mulai saat ini mungkin aku akan mulai memasukkan cerpen atau bahkan novel yang hanya ada di dalam file di laptop ku ke dalam blog ini, semoga semoga semoga blog ini ramai.

Mohon dukungan semuanyaaa!! Thanks.

Selasa, 02 Oktober 2012

KEPERCAYAAN. DIKHIANATI?

Untuk percaya pada sesuatu atau seseorang itu terkadang tak bisa dipastikan. Ada kalanya dengan mudah-nya kita percaya pada sesuatu atau bahkan seseorang, atau ada kalanya juga sebaliknya. Terlebih ketika kepercayaan itu disalah-gunakan.

Kali ini saya berbicara tentang "Kepercayaan yang dikhianati". Dalam hal ini yang saya maksudkan adalah berbagai jenis kepercayaan. Kepercayaan orangtua pada anak, kepercayaan sahabat, kepercayaan anggota team, dan mungkin kepercayaan kepada orang terdekat atau terkasih.

Percaya. Kata tersebut sering meluncur dari bibir kita. Mudah memang mengucapkan dan menjabarkan defenisinya. Bahkan kita mampu menjelaskan apa saja indikator dari satu kata tersebut. Banyak orang yang mengganggap bahwa untuk mempercayai seseorang maka dibutuhkan keberanian. Berani sakit hati atau kecewa jika kepercayaan tersebut disalahgunakan.

Ya, hal itu memang benar. Negara kita sendiri merupakan contoh nyatanya. Saat ini sedang marak kampanye besar-besaran oleh para calon pemimpin daerah kita. Mereka mengungkapkan banyak sekali janji, yang beberapa dari itu benar-benar menarik perhatian bahkan kepercayaan masyarakat. Namun, tak ada yang menjamin apakah kepercayaan masyarakat yang diwujudkan dengan suara mereka dalam pemilihan umum, benar-benar dapat dijaga oleh pemimpin tersebut. Apakah janji-janji tersebut benar-benar terwujud? Saya tidak perlu memberikan penilaian disini. Anda sendiri sudah mampu melihat dan menilainya sendiri.

Tidak hanya terjadi pada pemimpin-pemimpin saja, penyalah-gunaan kepercayaan ini juga kerap terjadi di dalam hubungan dekat, baik antara anak-orangtua, kekasih, dan pertemanan.
Terkadang, seorang anak akan menyalahi aturan orangtua demi kesenangannya sendiri, bahkan berbohong. Hal itu salah, tetapi seperti sudah mendarah-daging menjadi satu hal yang dibenarkan. Tak hanya itu, kerap kali dalam hubungan kekasih, lelaki atau wanitanya, salah satunya mungkin akan mengkhianati kepercayaan dalam hubungan mereka. Berselingkuh, contohnya.

Bagaimana mengatasi hal ini? Bagaimana agar kita mampu menjaga kepercayaan orang lain pada kita? Dan bagaimana agar tidak terlalu kecewa ketika kepercayaan kita disalahgunakan?
Jawabannya : Saling berbenah diri. Hal itu tergantung pada pribadinya. Ada baiknya jika kita memang tidak mau dan tidak suka dikhianati, maka berusahalah untuk tidak melakukan hal yang sama pada orang lain.
Anggap saja jika anda yang dikhianati, maka apa yang akan anda lakukan. Kemudian bayangkan, harapan-harapan orang-orang yang percaya kepada anda sepenuhnya. Posisikan diri anda pada orang-orang tersebut. Apakah anda masih mungkin menyalahgunakan kepercayaan itu? Jawabannya hanya anda dan Tuhan yang tahu. Saya hanya memberi pandangan dan pendapat saya. Anda sendiri juga mempunyai pendapat pribadi bukan? Itu adalah hak setiap orang.

Kamis, 08 Maret 2012

PENILAIAN, PILIHAN DAN PROSES

"Kamu tahu gak, aku capek kalau setiap saat kamu nuntut aku ini dan itu". Seorang gadis menyatakan protes di hadapan kekasihnya. Namanya Sarah. Sudah sebulan mereka bertengkar karena masalah yang itu-itu saja. Bukan apa-apa. Sarah merasa Alan - kekasihnya - terlalu menuntutnya lebih, diluar batas kemampuannya. Sebaliknya, Alan merasa apa yang dia minta selama ini pada Sarah adalah hal yang Alan butuhkan. Dia butuh Sarah untuk menjadi lebih dewasa. Alan merasa kecewa dengan sikap Sarah. Sarah merasa tertekan dengan permintaan Alan.

"Kamu mau nya apa sih, yang? Apa bisa kamu rinci?" Sarah mendesak. "Kamu kan udah gede, kamu pikir aja sendiri." jawaban Alan gak sesuai dengan harapan Sarah. Sarah menyerah. Sekuat apapun dia berusaha, Alan pasti menganggapnya salah. Alan juga punya pendapat sendiri, sekuat apapun dia meminta Sarah berubah, Sarah tak akan berubah.

"Yaudah. Kita putus aja ya. Mungkin kita masih butuh waktu." Alan menatap gadisnya tak percaya. Sarah sudah menangis. Buatnya ini bukan keputusan yang dia mau. Dia hanya berpikir tak bisa menjadi apa yang Alan mau. Alan sudah terlanjur marah. Alan berharap Sarah akan berusaha lagi, tapi dia malah memilih berpisah. Alan pergi, dan Sarah hanya duduk. Mengharapkan Alan berbalik, dan memintanya memulai kembali. Tapi Alan tak akan kembali, tidak untuk saat ini atau tidak untuk selamanya.

Pilihan itu adalah keputusan kita masing-masing. Untuk sebuah pilihan yang akan diambil dan sudah diambil, ada proses di dalamnya. Sebelum kita memutuskan sesuatu, kita akan berpikir dampak dan resikonya. Ini adalah sebuah proses. Saat kita sudah memutuskan pilihan, kemudian ada yang berpihak dan ada yang tidak. Ini juga adalah proses. Proses dimana adaptasi dibutuhkan setelah keputusan itu diambil. Proses dimana resiko dan dampak yang ada diterima satu per satu.
Di dalam proses, kita juga akan memikirkan banyak hal. Yang terpenting dalam proses ini adalah berpikirlah dari banyak sisi yang berbeda. Sarah dan Alan hanya berpikir dari sisi masing-masing, sehingga keputusan yang diambil justru menyakiti keduanya. Tapi itu baik, sehingga akan ada proses dimana mereka akan mulai memikirkan keputusan itu kembali. Dan sebaiknya mereka saling menilai dari sisi sebaliknya. Bagaimana Sarah jika Alan tak sedewasa yang Sarah mau, dan bagaiman Alan jika tuntutan Sarah terlalu berat untuk diikutinya. Lagi-lagi semua adalah proses. Proses membutuhkan waktu. Pikirkanlah.

Selasa, 31 Mei 2011

KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA???

Siapa yang ingat kalau hari ini adalah hari lahir Pancasila? Sebagian besar sudah pasti ingat bukan? Ya. Hari ini tanggal 1 Juni adalah hari lahir Pancasila. Coba kita ulangi lagi apa isi dari Pancasila itu (silahkan ulangi dalam hati. ^^)
Mari menyoroti sila kelima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Sila ini seharusnya menjdi tolak ukur untuk kita melihat keadaan rakyat Indonesia, tentunya rakyat kecil donk! Bukan mereka yang duduk enak di ruangan ber-AC atau mereka yang dengan nyaman bisa kemana-mana menggunakan mobil mewah plus supir.
Dimulai dari rakyat kecil yang membutuhkan transportasi. Apakah anda sudah pernah menaiki kereta api kelas ekonomi? Sudahkan anda melihat keadaan di dalam gerbong kereta itu? Layakkah menurut anda? Jawabannya, TIDAK. Bagaimana kita mengatakan ruangan yang penuh dan sesak ditambah tidak hanya manusia, melainkan hewan pun ikut menumpang bersama manusia di dalamnya, adalah sebuah transportasi yang layak? Apakah ini keadilan sosial?
Selanjutnya kita beralih pada pendidikan. Di kota-kota besar tidak perlu diragukan lagi bagaimana baiknya gedung sekolah dan fasilitasnya. Di daerah berkembang juga masih bisa dikatakan cukup baik, untuk sarana dan prasarananya. TAPI, apakah kita pernah memperhatikan mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kurang disentuh? Contohnya adalah daerah Malimbi, Sumbawa. Tahukah anda, bahwa untuk sekolah saja, anak-anak SD yang usianya masih muda itu harus menanggalkan baju untuk menyeberang sungai sehingga tidak basah demi menuntut ilmu. Mereka menerjang bahaya di sungai yang kemungkinan besar masih dihuni buaya. Ini dilakukan tiap hari. Tidak ada jembatan, tidak ada perahu. Mereka menyeberang dengan berjalan kaki. Apakah para pemimpin kita yang baik, atau bahkan kita sendiri pernah membayangkan bagaimana rasanya jadi mereka? Saya rasa TIDAK. Karena kita sudah terlebih dahulu dimanjakan dengan kelengkapan fasilitas. Kalau mereka di Sumbawa harus menyeberang sungai demi sekolah. Ada lagi anak-anak yang harus rela sekolah di lapangan terbuka karena gedung sekolah mereka yang rusak. Ada lagi bahkan yang harus tidak bersekolah karena hujan. Atap sekolah mereka tidak utuh seperti sekolah-sekolah di kota. Bahkan, tahukah anda ada banyak anak-anak yang bahkan tidak bersekolah karena tidak ada biaya untuk sekolah. Saya belum melihat fungsi dari sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah. Pendidikan kita sudah berkeadilan sosial kah?
Transportasi sudah, Pendidikan sudah, kira-kira apalagi yang secara realita tidak sesuai dengan keadilan sosial dalam Pancasila? Ya. Pelayanan Kesehatan. Salah satu hal yang juga sangat penting untuk rakyat. Untuk mendapatkan kesehatan yang cukup saja kita masih harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Program Askes tidak serta merta bisa membantu mereka yang tidak mampu. Bagaimana dengan ibu yang melahirkan anaknya dengan susah payah, namun akhirnya tidak diperbolehkn melihat anaknya hanya karena tidak mampu membayar biaya persalinan? Apakah ini keadilan sosial? Lalu bagaimana dengan mereka yang anak-anaknya akhirnya harus terbaring lemah begitu saja di rumah karena ditolah oleh rumah sakit akibat tidak mampu membayar biaya administrasi? Apakah begini cerminan keadilan sosial?
Saya tidak paham keadilan sosial di mata para pemimpin kita. Tapi untuk saya keadilan sosial adalah terutama untuk rakyat, bukan untuk pribadi sendiri. Itu adalah hal yang saya junjung jika saya menjadi seperti para pemimpin kita. Untungnya saya tidak harus menjadi mereka. Tak hanya mereka, kita pun harusnya melihat ke bawah kita. Melihat mereka yang mengulurkan tangan meminta bantuan kita, agar kita juga bisa mengulurkan tangan, UNTUK MEMBANTU MEREKA.